Senin, 10 Desember 2018

HANYA MENCARI APA YANG ALLAH RIDHAI

Beginilah Seharusnya Seorang Muslim

Seorang Muslim, hanya mencari apa yang Allah ridhai, baik dengan melakukan perintah-Nya atau pun menjauhi segala larangan-Nya
Beginilah Seharusnya Seorang Muslim
TIDAK sedikit di antara banyak orang yang menghalkan segara cara dalam hidup. Demi uang, karir dan jabatan, orang rela menukar akidahnya.
Secara etimologis Islam   اْلإِسْلاَم   berasal dari  bahasa Arab
aslama – yuslimu – islāman. Dalam kamus Lisān al-‘Arab disebutkan, Islām mempunyai arti semantik sebagai berikut: tunduk dan patuh (khadha‘a – khudhū‘ wa istaslama – istislām), berserah diri, menyerahkan, memasrahkan (sallama – taslīm), mengikuti (atba‘a – itbā‘), salima yang artinya selamat.
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya .
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Bahkan, barangsiapa  menyerahkan diri (aslama) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.” (QS: al-Baqarah [2]:112).
Idealnya, seorang Muslim totalitas dalam ber-Islam. Semua pikiran, hati bahkan praktik hidupnya ‘diserahkan’ (sesuai yang diinginkan pemilik langit dan bumi). Itulah namanya menyerahkan diri.

‘”Sekarang saya telah menyerah kepada-Nya. Menyerah dengan sepenuh hati. Artinya, segala perintah dan hukum-Nya aku taati; suruhan-Nya aku kerjakan, larangan-Nya aku hentikan, dengan segenap kerelaan. Inilah Islam!” tulis Buya Hamka dalam bukunya Kesepaduan Iman dan Amal Saleh.
Buya Hamka pun menambahkan, “Iman dan Islam, percaya dan menyerah, adalah dua kalimat yang tidak tercerai selama-lamanya. Tidaklah cukup percaya saja padahal tidak menyerah. Tidaklah sempurna menyerah kalau tidak percaya.” (halaman: 1-2).
Suatu hari ada seorang pemuda menemui Nabi, lantas berkata, “Wahai Rasulullah izinkan aku berzina,” demikian kalimat pemuda itu yang membuat para sahabat marah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab. “Mendekatlah.”
“Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada ibumu?” tanya Rasulullah.
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”
“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka.”
“Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada putrimu?” Rasulullah melanjutkan sabdanya.
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah”
“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa putri-putri mereka.”
“Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu, saudari ayahmu?”
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah”
“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa bibi-bibi mereka.”
“Apakah engkau suka jika hal itu dilakukan kepada bibi-bibimu, saudari ibumu?”
“Tidak, demi Allah wahai Rasulullah”

“Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa bibi-bibi mereka.”
Setelah pemuda tersebut menyadari bahwa tak ada seorang pun yang rela ibu, putri dan kerabatnya dizinai sebagaimana dirinya sendiri juga tidak rela jika hal itu terjadi pada ibu, putri dan kerabatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas meletakkan tangan beliau kepada pemuda itu sambil mendoakannya:
“Ya Allah… ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
“Setelah itu,” kata Abu Umamah yang menceritakan kisah pemuda tersebut, “Pemuda tersebut tidak pernah melirik apapun.” Perbuatan zina menjadi hal yang paling dibencinya.
Demikianlah sikap seorang Muslim, hanya mencari apa yang Allah ridhai, baik dengan melakukan perintah-Nya atau pun menjauhi segala larangan-Nya.
Sungguh sebuah kemunafikan jika lisan mengatakan iman kepada Allah namun perilaku jauh dari nilai-nilai Islam bahkan tidak peduli dengan permasalahan yang menimpa umat Islam.

Buya Hamka menambahkan, “Mengaku diri seorang Islam padahal tidak mengerjakan sholat lima waktu. Cobalah pikirkan, benarkah pengakuan itu? Mengaku seorang Islam padahal enggan mengeluarkan zakat? Apa sebab? Apakah lantaran merasa bahwa harta itu bukan pemberian Allah? Mengaku diri seorang Islam padahal enggan melakukan puasa bulan Ramadhan. Apakah sebabnya? Bukankah ini lantaran pengakuan itu belum bulat? Lain di mulut, lain di hati?”
Padahal dengan menjadi Muslim yang sejati atau dalam kata yang lain benar-benar menjadi Islam, pertolongan Allah akan selalu datang menyertai setiap usaha kehidupannya.
إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: [22] :40-41).
Semoga Allah berikan kekuatan kepada kita untuk benar-benar menjadi Muslim yang sejati, yang dalam perkara apapun selalu mengingat penilaian Allah, jika halal kita kerjakan, jika haram kita jauhi. Karena tidak akan pernah ada kebahagiaan dengan memilih jalan yang menyalahi aturan-Nya.
Terhadap perintah-Nya, seperti sholat, zakat, puasa, haji dan beragam amal kebajian lainnya, kita upayakan dengan semampu diri. Dan, terhadap larangan-Nya, kita jauhi sejauh-jauhnya. Insya Allah kebahagiaan akan menyapa hidup kita, tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Allahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar