Jumat, 23 November 2018

artikel tentang akad

Pengertian Akad

Secara bahasa, akad artinya ikatan, mengencangkan, menjamin, atau perjanjian. Mengikat tali, bahasa arabnya: عَقَدَ الحَبْلَ . Sesuatu yang terikat disebut ma`qud. (al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)

Sedangkan secara istilah, pengertian akad ada dua:

Pertama, pengertian akad secara umum
Dalam pengertian umum, akad artinya sesuatu yang menjadi komitmen seseorang untuk dilakukan atau komitmen seseorang yang menuntut agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu yang dia inginkan.  (al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
Berdasarkan pengertian ini maka jual-beli, nikah, dan semua transaksi komersial dan ganti rugi bisa disebut akad. Demikian pula sumpah untuk melakukan perbuatan tertentu di masa mendatang juga disebut akad. Karena sumpah termasuk diantara komitmen untuk melakukan sesuatu di masa mendatang.
Kedua, pengertian akad secara khusus
Secara khusus, akad adalah ikatan antara beberapa pihak transaksi melalui ijab dan qabul. (al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196). Berdasarkan pengertian ini maka sumpah tidak termasuk akad. Demikian pula berjanji untuk diri sendiri, tidak termasuk akad. Istilah akad hanya digunakan untuk transaksi antara beberapa pihak, baik saling mengikat maupun tidak saling mengikat.

Rukun Akad

Ada tiga hal penting yang terkait akad:
  1. Pihak yang melakukan akad
  2. Shighah (pernyataan ijab-qobul)
  3. Ma`qud `alaihi (Objek akad)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tiga hal di atas adalah rukun dalam akad. Sementara madzhab hanafiyah berpendapat rukun akad hanya shighah. Adapun pihak yang melakukan akad dan objek akad hanya konsekwensi dari adanya shighah dan bukan rukun. (__, al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)

Macam-macam Akad

Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari aspek tinjauannya.
Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:
  1. Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu. Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara`ah atau musaqah.
  2. Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai), mewakilkan, wasiat, dll.
Ada akad yang tergolong maliyah dari satu sisi dan ghairu maliyah dari sisi yang lain. Contohnya: akad nikah, khulu’, shulhu, dan sebagainya. (Lihat Al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)
Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:
  1. Akad lazim, adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing     pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad kecuali dengan kerelaan pihak yang lain.     Contoh: akad jual-beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan semacamnya.
  2. Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak mengikat. Artinya salah satu pihak     boleh membatalkan akad tanpa persetujuan rekannya. Contoh: akad pinjam-meminjam, wadi`ah,     mewakilkan, dan lain-lain. (Lihat Al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 468)
Ketiga, pembahasan akad ditinjau dari keterkaitan dengan hak pilih
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
1. Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:
  • Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlis dan khiyar syarat. Misalnya akad jual beli yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa untuk suatu pekerjaan tertentu.
  • Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Seperti transaksi tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi tukar menukar barang ribawi. Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.
2. Akad mengikat namun bukan komersial. Seperti akad pernikahan, khulu`, wakaf, atau hibah. Semua akad ini tidak ada hak pilih untuk membatalkan dari salah satu pihak.
3. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.
4. Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.
5. Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran, keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak lain.
6. Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar. (Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
  1. Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah, wadi`ah, wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dll
  2. Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah, dll.
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/234)
Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi dua:
  1. Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya, penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
  2. Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik karena bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dst. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi, misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila, dst.
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/235)
Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:
  1. Akad yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual beli secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya. Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul. Baik sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda. Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
  2. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi menjadi beberapa macam:
  • Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya kepemilikan. Meskipun akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun kepemilikan belum berpindah sampai  Seperti hibah, hutang, atau `ariyah (pinjam-meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan tidak secara otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul. Namun disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi. Demikian pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis memiliki uang yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia menerima uang tersebut dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, andaikan uang yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi namun sebelum dilakukan serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur bukan kreditur.
  • Akad yang dipersyaratkan adanya  qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada serah terima di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam, mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang beratnya sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk jual beli salam (uang dibayar di muka, barang tertunda), mayoritas ulama berpendapat bahwa uang harus sudah diserahkan sebelum berpisah antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang ingin melaksanakan transaksi salam maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya”. (HR. Muslim 1604) (Al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)
Ketujuh, ditinjau dari konsekwensinya, akad dibagi dua:
  1. Akad Nafidz (terlaksana). Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang     lain. Contoh akad jual beli yang sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya     dengan orang lain, sementara uang yang diserahkan adalah murni milik pembeli. Akad nafidz     hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatu tasharruf (kemampuan untuk     bertransaksi).
  2.  Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa izin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya saja konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang. Sehingga pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari pemiliknya. Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat izi dari pemilik uang. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/237)
Kedelapan, Akad ditinjau dari batas waktunya
  1. Akad Muaqqat (terbatas dengan batas waktu tertentu). Akad muaqqat adalah semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah, musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).
  2. Akad Mutlak (tanpa batas waktu), ada dua bentuk:
  • Akad yang tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli, jizyah, atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu. Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu tertentu.
  • Akad yang boleh dibatasi waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang. Terkadang dibatasi waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas waktu yang ditentukan maka wajib ditunggu. (Al-Ashbah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 29)
Rujukan:
(Al-Fairuz Abadzi, al-Qomus al Muhith, Syamilah, kata: عقد)
(Al-Jashsas, Ahkam al-Qur`an, Mauqi al-Islam, jilid 5, hlm. 181)
(Al-Jurjani, at-Ta`rifat, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, 1405, hlm. 196)
(Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 30/200)
(az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qowaid al-Fiqhiyah, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 469)
(Ibnu Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405, jilid 4, hlm. 130)
(as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair, Mauqi` al-Islam, jilid 2, hlm. 25)
Artikel www.Yufidia.com


Read more https://yufidia.com/akad/

tijaniyah

Golongan Tijayinah termasuk salah satu firqah sufiyah, bahkan aliran sufiyah yang ekstrim. Nama kelompok ini dinisbatkan dari penggagasnya, yaitu Ahmad bin Muhammad At Tijani. Dia meninggal pada tahun 1230 H. Jadi, tidak berlebihan kalau disebut sebagai aliran baru.
Kelahiran aliran ini dirintis oleh seseorang yang dipanggil Abul Abbas, bermula saat ia melangsungkan perjalanan ritualnya ketika berjumpa dengan banyak tokoh Sufi pada masanya. Mereka berlatar belakang beragam thoriqot. Pengaruh para panutan itu begitu membekas dalam diri Ahmad At Tijani, tetapi ia tidak ingin mengadopsi salah satu dari thoriqot itu. Dia kemudian mendeklarasikan thoriqot barunya dengan label namanya sendiri, yaitu At Tijaniyah. Hal itu, menurutnya, setelah pertemuan antara dirinya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga. Konon katanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkannya untuk mentarbiyah manusia dan memerintahkannya untuk membentuk aliran baru. Inilah salah satu kebohongan yang biasa diusung oleh semua aliran thoriqot.

Faktor yang Mendukung Penyebaran Aliran Tijaniyah:

  1. Adanya dukungan kuat dari pemerintah yang berkuasa. Amir Sulaiman, penguasa Maroko saat itu, sangat berperan mengembangkan ajaran Ahmad At Tijani dan firqah produknya.
  2. Kurangnya pemahaman umat terhadap agama Islam dan minimalnya jumlah ulama dari kalangan Ahli Sunnah.
  3. Simpati penjajah terhadap aliran sufiyah di Afrika. Ini termasuk strategi penjajah. Menurut mereka, sarana paling efektif untuk meruntuhkan Islam ialah dengan menyebarkan bid’ah dan khurafat.

Referensi Utama Thoriqut Tijaniyah

Kitab terpenting yang menjadi rujukan utama mereka adalah Jawahirul Ma’ani Wa Bulughi Al Amani. Mereka mengklaim, bahwa kitab ini bingkisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterima oleh para tijaniyyun. Berkaitan dengan kitab pedoman tersebut, menurut mereka, Nabi pernah berkata, “Ini kitab milikku. Aku menyusunnya.” Disamping itu, juga terdapat kitab lainnya yang menjadi rujukan mereka, yaitu Rimahu Hizbi Ar Rahim ‘Ala Nuhuri Hizhi Ar Rajim, karya Umar bin Said Al Futi. Tidak berbeda dengan kitab sebelumnya, karangan ini juga berisi banyak kesesatan, kekufuran dan kesyirikan.

Pokok-Pokok Pikiran Aqidah Thoriqot Tijaniyah

Pada prinsipnya, mereka beriman kepada Allah, tetapi keimanan ini banyak ternoda dengan berbagai kesyirikan yang mereka lakukan, seperti:
  1. Mayoritas para pemeluk thoriqot ini meyakini aqidah wihdatul wujud. Yaitu suatu keyakinan menyimpang, yang substansinya mengajarkan bahwa Sang Pencipta adalah juga sekaligus makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya makhluk itu juga sekaligus Khaliq. Sang pencipta. Bandingkan dengan aliran kebatinan di Jawa yang memperkenalkan istilah manunggaling kawula lan gusti (bersatunya hamba dan Tuhan).
  2. Para pemeluk thoriqot ini berkeyakinan, bahwa para tokoh Tijaniyah mampu mengetahui rahasia alam ghaib dan kata hati manusia. Dan ini sudah banyak tertera di dalam buku-buku milik mereka.
  3. Mereka mengamalkan bacaan shalawat yang populer dengan nama Shalat Al Fatih. Menurut mereka Shalat Al Fatih ini lebih afdhal daripada Al Qur’anul Karim. Mereka juga mengklaim bacaan sholawat itu merupakan kalamullah, dan lebih afdhol enam ribu kali dibandingkan Al-Quranul Karim. Teks shalawat tersebut berbunyi:
    اَلَّلهُمَّ صَلَّ عَلَى سَيِّدٍ الْفَىِحِ لِمَاإُغلِقَ وَالْخَاةَمِلِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ الْهَادِيْ إِلَى صِرَاطكَ الْمُسْةَقِيمِ وَعَلَى أَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظيم
  4. Mereka mengatakan bahwa Nabi melarang Ahmad At Tijani bertawasul dengan nama-nama Allah. Sebagai gantinya, ialah bertawasul dengan Shalat Al Fatih di atas.
  5. Para penganut thoriqot ini mengklaim, bahwa mereka dapat melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mata telanjang dalam keadaan terjaga dan bisa berjumpa dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya.
  6. Keyakinan mereka yang lainnya juga sangat berbahaya, yaitu mereka menganggap adanya unsur syariat yang masih disembunyikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan risalah secara tuntas, yang berasal dari wahyu Allah.
  7. Lebih parahnya lagi, para penganut thoriqot Tijaniyah ini beranggapan, bahwa sang pencetus ide Tijaniyah (Ahmad bin Muhamad At Tijani) mempunyai kekuasaan untuk memberi atau menahan rezeki, menyembuhkan penyakit dan sekaligus mengirim penyakit, mampu mengabulkan doa orang yang terjepit dan keampuhan-keampuhan lain, yang sebenarnya merupakan hak rububiyah Allah.
  8. Secara pribadi, Ahmad bin Muhammad At Tijani menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan jaminan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksaan sedikit pun untuk dirinya dan orang-orang yang mengikuti thoriqot Tijaniyah, meskipun kesalahan dan dosa mereka bertumpuk-tumpuk.
  9. At Tijani mengklaim, bahwa dirinya meraih tingkatan rubuwah (kenabian) pada hari Kiamat kelak. Dia berkata, “Akan dibuatkan untuk diriku sebuah mimbar yang terbuat dari cahaya pada hari Kiamat kelak. Kemudian ada panggilan yang didengar oleh setiap orang yang berada di Mahsyar ‘Wahai, manusia. Ini adalah imam kalian yang sangat kalian dambakan tanpa kalian sadari’.”
  10. Ajaran yang tidak pernah dikenal sahabat Nabi ini, juga menganjurkan para pengikutnya untuk larut dalam maksiat.
  11. Mereka juga mempunyai dzikir khusus yang mereka baca pada pagi dan sore hari. Ada juga dzikir yang khusus dibaca waktu sore pada hari Jum’at sampai terbenamnya matahari. Juga masih ada dzikir-dzikir lain yang dibaca pada acara-acara tertentu.
  12. Para penganut thoriqot ini juga mengklaim bahwa Ahmad bin Muhammad At Tijani merupakan khatamul auliya (penutup para wali Allah).
  13. Sang perintis ini juga mengatakan, “Barangsiapa melihatku, niscaya ia masuk surga.”
Demikian di antara kesesatan mereka. Masih banyak lagi keyakinan lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islamiyah, yang berisi kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya, pembodohan intelektual dan penyesatan terhadap para pengikutnya.

Sumber Rujukan Aqidah dan Keyakinan Tijaniyah

Secara umum, yang mendominasi thoriqot Tijaniyah ini ialah pemikiran golongan Sufi dengan tambahan kodifikasi dari mereka. Demikian juga tulisan-tulisan Abdul Qadir Al Jailani, Ibnu Arabi dan Al Hallaj menjadi rujukan utama aqidah mereka. Selain itu, kitab Al Maqshadul Ahmad Fi At Atarif Bi Sayyidi Abi Abdillah Ahmad, karya Abu Muhammad Abdus Salam bin Ath Thayyib Al Qadiri Al Husaini juga banyak mempengaruhi ajaran thoriqot Tijaniyah.

Wilayah Penyebaran Thoriqot Tijaniyah

Aliran yang kental dengan aroma sufi ini menyebar di beberapa negara Islam, seperti di negara Maroko, Nigeria, Sudan, Mauritania, Mesir, Senegal dan negara di benua Afrika lainnya. Menurut data statistik, pada tahun 1401 H (1981 M) jumlah penganut Tijaniyah di Nigeria saja menembus angka sepuluh juta jiwa.

Fatwa Lajnah Daimah Tentang Imamah Tokoh-Tokoh Tijaniyah

Lajnah Daimah pernah mengeluarkan fatwa berkaitan tentang tokoh Tijaniyah bila menjadi imam shalat. Apakah sah shalat orang yang menajdi makmumnya?
Komisi Fatwa ini menjawab, bahwa thoriqot Tijaniyah termasuk golongan yang paling fatal kekufuran, kesesatan dan bid’ahnya dalam agama. Maka tidak sah shalat di belakang orang yang memeluk thoriqot ini (menjadi makmum). Hendaknya seorang muslim mencari imam lainnya yang tidak berpedoman thoriqot Tijaniyah. (Lihat Ath Thaifah At Tijaniyah, susunan Lajnah Daimah (Komisi Kajian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi, fatwa no. 2089, tanggal 12 Ramadhan 1398H).

Penutup

Tidak diragukan lagi, jika thoriqot Tijaniyah ini disebut sebagai ahli bid’ah dalam berbagai aspek ibadah. Beragam dzikir dan wiridnya semakin mengukuhkan klaim Tijaniyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas dalam menyampaikan risalah Islam. Apalagi kalau hal itu dipadukan dengan kebrobrokan aqidah yang menguasai jiwa mereka, yang sebagiannya sudah dapat mengeluarkan seseorang dari gerbang agama Islam. Wallahi Musta’an.
Penulis: Muhammad Ashim
Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M
Maraji:
Al Mausu’ah Al muyassarah Fi Al Adyani Wal Madzahibi Wal Ahzabi Al Mu’ashiarah, hlm.
285-290.
Ath Thaifah At Tijaniyah, susunan lajnah Daimah (Komisi Kajian Ilmiah dan Fatwa
Kerajaan Arab Saudi), cet. II, Th. 1423H/2002M


Read more https://yufidia.com/tijaniyah-salah-satu-sekte-sufiyah/

taubat

Inilah kisah nyata yang seakan terlupakan. Kisah yang hanya diungkap oleh al-Quran. Pena-pena pendongeng dan novelis tak pernah menuliskannya. Inilah kisah antara para hamba dan pencipta mereka. Kisah antara kita dan Allah, Sang Pencipta. Kisah tentang welas asih ar-Rahman, Yang Maha Penyayang, terhadap para hamba yang zalim lagi durhaka.
Allah Sang Pencipta, menuturkan perihal diri-Nya,
ۗ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” [QS. al-Hajj: 65]
Lalu menuturkan tentang kita, hamba ciptaan-Nya,
( إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ)
“Sungguh, manusia benar-benar zalim lagi durhaka.” [QS. Ibrahim 34]
Inilah kisah tentang Allah Sang Pencipta, yang tak pernah lelap menanti hamba-hamba-Nya tuk kembali. Kembali kepada-Nya memelas maaf dan ampunan. Setiap malam di sepertiga yang terakhir, Dia bahkan turun ke langit dunia, lalu berfirman,
مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Siapakah yang berdoa kepada-Ku, untuk Ku-kabulkan? Siapakah yang meminta kepada-Ku, untuk Ku-berikan? Siapakah yang meminta ampunan pada-Ku, untuk Kuampuni? [HR. al-Bukhari: 1145, Muslim: 1261]
Allah bahkan gembira menyambut taubat hamba-Nya. Padahal hamba tersebut, baru saja atau selalu mengkhianati-Nya, dengan dosa dan pelanggaran titah-Nya, menerjang larangan-Nya.
Baginda Rasul bertutur dalam sabdanya yang mulia,
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ : اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
Sungguh Allah itu lebih gembira dengan taubat hamba-Nya manakala ia bertaubat, dibanding kegembiraan salah seorang di antara kalian yang tengah berada di padang (yang luas lagi tandus), menaiki kendaraan tunggangannya. Kendaraan tunggangan tersebut hilang entah kemana, membawa semua perbekalan makan dan minum di atasnya. Ia putus asa (dalam pencarian). Ia pun singgah di sebuah pohon, bersandar dan bernaung di bawah bayangan pohon tersebut (menanti maut). Dalam keadaan demikian, tiba-tiba tunggangannya telah berada di hadapannya. Lekas ia ambil tali kekangnya, lalu dengan kegirangan yang membuncah ia pun berucap: “Ya Allah, engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu”. Saking girangnya dia, sampai-sampai salah ucap. [Shahih Muslim: 2747]
Lihat betapa dahsyatnya taubat seorang hamba yang kembali kepada-Nya. Menjadikan Allah gembira, melebihi kegembiraan seseorang yang selamat dari maut yang disangkanya sejenak lagi pasti akan menjemput. Tentu saja kegembiraan Allah al-Khāliq, tak sama dengan kegembiraan makhluk. Kegembiraan-Nya tak terlukiskan, tak sedikitpun dihinggapi ketidaksempurnaan, Kegembiraan-Nya atas taubat hamba-Nya, bukanlah gambaran kebutuhan Sang Khalik terhadap makhluk, melainkan kegembiraan yang mengandung Ihsan dan kasih sayang terhadap hamba atau makhluk itu sendiri.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah sampai-sampai memberikan catatan atas hadits di atas. Beliau mengatakan:
⬅️ ( إنَّ هذا الفرح من الله بتوبة عبده – مع أنه لم يأْتِ نظيره فى غيرها من الطاعات – ؛ دليلٌ على عِظم قدر التوبة، وفضلها عند الله وأن التعبد له بها من أشرف التعبدا
طريق الهجرتين : (٢٤٤/١)
Kegembiraan Allah akan taubat hamba-Nya -padahal si hamba belum pula datang dengan ketaatan yang setara dengan taubat tersebut- menunjukkan betapa agungnya kedudukan dan keutamaan taubat di sisi Allah. Juga menunjukkan bahwa peribadatan kepada Allah dengan taubat, termasuk peribadatan yang paling mulia. [Thariiq al-Hijratain: 1/244]
***
Begitu dahsyatnya taubat. Hingga Allah menyematkan cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bertaubat,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sungguh, Allah mencintai orang yang bertaubat dan mencintai orang yang menyucikan diri.” [QS. al-Baqarah: 222]
Betapa hebatnya taubat. Hingga keberuntungan bagi orang-orang yang beriman, bergantung padanya,
ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“…Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” [QS. an-Nur: 31]
Betapa agungnya taubat. Hingga mampu merubah keburukan yang kita lakukan berganti menjadi kebaikan,
(إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا)
“(Mereka para pendosa itu akan digandakan siksaannya) kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [QS. al-Furqan: 70]
Betapa dahsyatnya taubat. Hingga keberkahan langit pun akan turun dengan izin Allah kepada mereka yang bertaubat, di samping juga menambah kekuatan mereka,
(وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ)
“Dan (Hud berkata), “Wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras, Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.” [QS. Hud: 52]
Maka tak heran jika Baginda Rasul tak pernah lalai mengucap kalimat taubat dan istighfar. Dalam sehari beliau bertaubat dan beristighfar sampai lebih dari 70 kali (Shahih al-Bukhari: 6307).
Demikian keadaan kekasih Allah yang telah mendapatkan jaminan ampunan atas dosa yang telah lalu dan yang akan datang, beliau banyak bertaubat kepada Allah, lantas apa yang masih menjadikan kita selalu menunda-nunda taubat?
Di saat tak ada jaminan maghfirah atas dosa demi dosa, kita justru berkata “nanti” untuk bertaubat?
Di saat kita meyakini tak ada yang lebih pasti dari datangnya kematian, dan kapan datangnya adalah ketidakpastian, kita justru menanti masa tua untuk bertaubat?
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)?”[QS. al-Hadid: 16]
Sungguh kita ini makhluk yang amat zalim terhadap Allah yang Maha Adil. Coba renungkan sikap kita selama ini terhadap Allah rabbul’alamin, lalu bandingkan kelembutan welas asih-Nya terhadap kita. Di setiap hembusan nafas, di setiap denyutan nadi, kita tenggelam dalam nikmat demi nikmat pemberian-Nya. Lantas kita membalasnya dengan dosa dan maksiat. Semestinya kita malu. Namun jika sedikit saja rasa malu itu masih mendekam di hati, semestinya itu sudah cukup membuat kita bungkuk sujud dalam tangisan taubat di hadapan-Nya. Namun apa? Allah terus berinfaq, kita terus bertingkah laku fussaq.
Hubungan kita dengan Allah sungguh amatlah timpang. Ibnu al-Qayyim rahimahullah mendeskripsikan hubungan tersebut dalam ungkapannya,
دعاه إلى بابه فما وقف عليه ولا طرَقه، ثمَّ فتحه له فما عرَّج عليه ولا ولجه، أرسل إليه رسولَه يدعوه إلى دار كرامتِه، فعصى الرَّسولَ
Dia (Allah) memanggil hamba menuju pintu-Nya. Si hamba tak kunjung berdiri di hadapan pintu tersebut apalagi mengetuknya. Lantas Dia membuka pintu itu untuknya, si hamba tak juga condong apalagi memasukinya. Dia pun mengutus Rasul yang menuntunnya menuju negeri kemuliaan-Nya, si hamba justru mendurhakai sang Rasul. [Madarij as-Salikin: 1/215]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah lanjut memaparkan,
لم يزل يتمقَّتُ إليه بمعاصيه حتى أعرض عنه وأغلق البابَ في
وجهه، ومع هذا فلم يؤيِّسه من رحمته؛ بل قال
…وإن تقرَّبتَ منِّي شبرًا تقربتُ منك ذِراعًا… ولو بلغَت ذنوبك عنانَ السماء ثم استغفرتني غفرتُ لك
Si hamba tetap saja mengundang murka Allah dengan kemaksiatannya. Hingga ia berpaling dari-Nya, menutup pintu tepat di hadapan-Nya. Kendati demikian, Dia tidak memutus hamba tersebut dari rahmat-Nya. Bahkan Dia berfirman, “….Jika engkau mendekat pada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat padamu sehasta. Sekalipun (tumpukan) dosamu sampai menjulang ke langit, Aku tetap akan memaafkanmu jika engkau bertaubat pada-Ku.” [Madarij as-Salikin: 1/216]
Allah al-Haliim masih menunda azab-Nya, senantiasa menanti pintu taubat diketuk hamba-Nya, tak pernah tidur memelihara mereka dan alam semesta, selalu saja memberi anugerah, padahal sedikitpun tak butuh sesuatu dari hamba. Sementara hamba terus saja durhaka, ditengah kebutuhan dan kefaqiran mereka yang sangat pada-Nya. Demikianlah kisah antara kita dan Allah Sang Pencipta. Maka “jika tak ada lagi rasa malu dalam dirimu, berbuatlah sesukamu”.
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)


Read more https://yufidia.com/dia-senantiasa-menunggumu-kembali/